Ada
seorang pemuda yang lama sekolah di Amerika Serikat kembali ke tanah air. Tentu
sepulang lama dari Amerika ia merasa superior dengan kecerdasannya. Sesampainya
dirumah, ia meminta kepada orang tuanya untuk mencarikan seorang guru agama,
ulama atau siapapun yang bisa menjawab tiga pertanyaannya. Selama ini ia belum
menemukan jawabannya yang memuaskan. Setelah mencari-cari, akhirnya orangtua si
pemuda mendapatkan orang tersebut. Ia seorang kyai di kampungnya.
Setelah bertatap muka, si pemuda bertanya: “Anda
siapa? Apakah Anda bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?”
Kyai : “Saya hamba Allah. Dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan Anda.”
Pemuda: “Anda yakin? Profesor dan banyak orang pintar saja tidak mampu menjawab
pertanyaan saya.”
Kyai : “Insya Allah. Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.”
Pemuda: “Oke. Saya punya tiga buah pertanyaan dan selama ini belum menemukan jawabannya yang memuaskan saya. Kalau bisa tolong Anda jawab:
Pertama, kalau
memang Tuhan itu ada, tunjukkan wujud Tuhan kepada saya?
Kedua, apakah yang
dinamakan takdir?
Ketiga, kalau syetan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke
neraka yang dibuat dari api juga, tentu tidak menyakitkan buat syetan karena
mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?
Tiba-tiba sang Kyai menampar pipi si pemuda dengan keras, “plakk….!”
Sambil meringis menahan sakit, si pemuda terheran-heran dan bertanya: “Kenapa
Anda marah kepada saya?”
Sang Kyai dengan kalem menjawab: “Saya tidak marah anak muda! Tamparan itu
adalah jawaban saya atas tiga buah pertanyaan yang Anda ajukan kepada saya.”
Pemuda: “Saya sungguh tidak mengerti.”
Kyai: “Tidak mengerti ya? Nah, sekarang tolong jawab pertanyaan saya. Bagaimana rasanya tamparan saya?”
Pemuda: “Tentu saja saya merasa sakit.”
Kyai: “Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?”
Pemuda: “Ya.”
Kyai: “Tunjukan pada saya wujud sakit itu? Mana?”
Si Pemuda diam tidak bisa
menjawab.
Ia bingung, lalu menjawab pelan: “Tidak bisa.”
Kyai : “Itulah jawaban pertanyaan pertama. Kita semua merasakan keberadaan Tuhan
tanpa mampu melihat wujud-Nya.”
Sang Kiayi bertanya lagi:
Kyai : “Apakah tadi malam Anda bermimpi akan ditampar oleh saya?”
Pemuda: “Tidak.”
Kyai : “Apakah pernah terpikir oleh Anda akan menerima sebuah tamparan dari
saya hari ini?”
Pemuda: “Tidak.”
Kyai : “Itulah yang dinamakan Takdir.”
Si pemuda diam lagi. Pak Kiayi meneruskan.
Kyai : “Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar pipi Anda?”
Pemuda: “kulit.”
Kyai : “Terbuat dari apa pipi Anda?”
Pemuda: “kulit.”
Kyai : “Bagaimana rasanya tamparan saya?”
Pemuda: “sakit.”
Kyai : “Walaupun syetan terbuat dari api dan neraka terbuat dari api juga,
karena Tuhan menghendaki, maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk syetan.”
Si pemuda diam seribu bahasa, tidak berkata-kata lagi.
Makna:
Memang, sekolah yang tinggi, modern dan maju belum tentu membuat orang jadi
semakin tawadhu. Malah banyak yang menjadi angkuh seperti si pemuda ini. Kisah
ini menggambarkan kecerdasan spiritual mengalahkan kecerdasan rasio ilmu
pengetahuan modern. Kyai kampung mengalahkan kecerdasan lulusan Barat!!
Sumber:
http://moeflich.wordpress.com